MAKALAH
PEMALSUAN HADITS
OLEH
RUSDIANTO KARIM
MTS.
NEGERI BALANG-BALANG
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam rangka meningkatkan pembelajaran khususnya siswa (i) diharuskan
untuk membaca, menulis, dan memperhatikan situasi di sekitar kita. Dalam hal ini selain dalam pelajaran sekolah siswa
juga diharuskan memahami tentang agama contohnya yang berkaitan dengan hadist
dan yang berkaitan dengan Al-Qur’an, banyak kejadian yang telah terjadi
disekitar kita seperti pemalsuan hadits. Akibat dari kejadian ini banyak kaum
yang merasa dirugikan.
B. RUMUSAN MASALAH
Pada zaman sekarang ini banyak orang orang yang yang menjadi musuh Islam,
contonya memalsukan hadist. Salah satu kaum yang termasuk musuh Islam yaitu
Ahli Bid’ah dan Budak Hawa Nafsu, maka dalam karya tulis ini kami mempunyai
rumusan masalah, “Bagaimana Sikap Ahli
Bid’ah dan Budak Hawa Nafsu Terhadap Sunnah Para Pemalsu Hadist?”, dan dalam
karya tulis kami ini akn memecahkan masalah ini dengan buku-buku yang telah
kami kumpulkan.
C. TUJUAN PENULISAN
Ø Supaya orang
dapat memahami hal yang dimaksud dengan ahli bid’ah dan budak hawa nafsu.
Ø Supaya manusia
tidak melakukan lagi perbuatan bid’ah.
BAB. II
PEMBAHASAN
A. Pemalsuan Hadits
Budak-budak hawa nafsu, pembuat bid’ah dan sindiq
musuh-musuh Islam putus asa dalam melakukan muslihat dan menyimpangkan kitab
Allah SWT. menurut kemauan nafsu mereka, karena Allah SWT telah berfirman,
“Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan al Qur’an,
dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.(Q.S. Al Hijr(15):9).
Mereka sengaja memalsukan Hadits karena alasan-alasan
murahan dan oreantasi duniawi, serta ambisi-ambisi pribadi yang dapat
terpuaskan dengan melakukan tipu daya terhadap Islam dan kaum muslimin. Juga,
karena ketamakan mereka untuk meraup keuntungan, kecintaan mereka pada
kedudukan dan usaha mereka di belakang popularitas semu.
B. Sebab-Sebab Pemalsuan
Hadits
Terdapat banyak sebab-sebab
pemalsuan hadits, sebanyak jumlah pemalsu dan kepentingan mereka. Mereka
terbagi dalam beberapa kelompok:
1.
Kelompok Zindiq. Yang mendorong mereka untuk
melakukan pemalsuan adalah sikap meremerkan agama dan penipuan kepada kaum
muslimin.
2.
Budak hawa nafsu dan ahli bid’ah. Mereka memalsukan
hadits dengan tujuan untuk mengagungkan mahzab-mahzab mereka dan menjatuhkan
lawan mereka.
3. Kaum yang menjadikan pemalsuan sebagai barang buatan
dan pasaran, karena sikap mereka yang kurang ajar terhadap Allah dan rasul-Nya.
4.
kaum yang menisbatkan diri kepada ajaran zuhud.
Kesadaran keagamaan yang bersumber dari kebodohan mendorong mereka untuk
memalsukan Hadits-hadits targhib (ajaran)
dan tarhib (ancaman). Menurut mereka,
hadits ini
menganjurkan manusia untuk berbuat kebaikan dan mencega mereka dari kejahatan.
Sebagian pencari karamah dan sufi membolehkan pemalsuan hadits.
5.
Para petualang
duniawi, seperti para ahli kisah, peminta-minta dan para umara’ (pejabat).
6. Kelompok yang terdorong oleh ketamakan dan kecintaan
pada penampilan luar untuk melakukan pemalsuan hadits, mereka menjadikan hadits
yang
Sanadnya lemah
menjadi hadits yang sanadnya shahih dan
masyur. Sebagian mereka memberikan isnad yang bukan isnad-Nya
pada suatu haditssehingga yang masyur menjadi
gharib.
7.
Kelompok yang tahu bahwa dalam riwayat mereka
terdapat hadits yang palsu tapi mereka tidak mengatakannya. Seperti orang yang
memang kurang ajar yang dengan sengaja menambahkan perkataan sebagian sahabat
atau lainnya kepada ucapan Nabi SAW. Juga, seperti orang yang sedang diuji
dengan orang yang menyusupkan hal-hal lain ke dalam hadits.
C.
Indikasi-indikasi pemalsuan
Allah ‘Assa Wa
Jalla mempersiapkan ulama-ulama yang mumpuni untuk membedakan antara hadits-hadits yang shahih, dha’ih dan maudhu’. Mereka mengabdikan diri untuk membela Sunnah Rasul, dan
terus bekerja siang dan malam untuk mencari hadits. Mereka mengarungi padang pasir yang tandus
dan melupakan kebutuhan duniawinya hanya untuk menyimaknya, dan meletakkan
kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits yang shahih
dari yang dha’if atau maudhu’.
Demikianlah,
karena banyaknya bersentuhan dengan hadits-hadits Nabi SAW, maka tercipta dalam
diri meeka kondisi kejiwaan dan naluri yang kuat yang dengannya mereka bias
mengetahui apa yang mungkin termasuk lafazh-lafazh Nabi dan apa yang tidak
mungkin.
Rabi’ bin Khutsaim
seorang ulama Tabi’in yang terhormat , salah satu dari sahabat-sahabat ibnu
Mas’ud berkata, “Sesungguhnya di antara hadits-hadits yang ada terdapat Hadits
yang memiliki cahaya seperti cahaya di siang hari sehingga dengan cahaya itu
kita mengetahui bahwa itu adalah hadits. Di antaranya pula ada hadits yang
memiliki kegelapan seperti gelapnya malam yang dengan kegelapan itu pula kita
mengetahui apakah itu Hadits atau bukan.
Ibnu Al Jauzi
berkata, “Kami meriwayatkannya dari Ibnu Al Mubarak, bahwasanya dikatakan kepadanya, ‘Hdits-hadits inin bikinan.’ Lalu
ia berkata, ‘para kritikus Hadits hidup untuknya.’’’
Tidak disangsikan
bahwa para kritikus itu telah mendefinisikan tanda-tanda untuk membedakan
hadits maudhu’ dari yang shahih setelah menekuni lafazh-lafazh
nabi, baik sanadnya ataupun matannya. Di antara tanda-tanda itu adalah:
1.
Pengakuan pemalsu hadits sendiri atas pemalsuan yang
dilakukannya.
2. Adanya bukti yang bias dijadikan tempat bersembunyi
dari pengakuannya terhadap pemalsuan yang dilakukannya. Misalnya, fakta-fakta
sejarah yang tidak membenarkannya.
3. Perawinnya didustakan pada yang banyak ulama, karena
bagaimanapun tidak akan pernah
terjadi di kalangan ulama kesepakatan untuk berbohong atau sebagian mereka
bertaklid kepada sebagian lainnya.
4.
Bukti yang tedapat pada perawi yang mengindikasikan
pemalsuannya pada hadits.
5.
Bukti yang terdapat pada hadits yang diriwayatkan.
Misalnya, karena bertentangan dengan logika sehingga hadits itu tidak dapat
ditakwilkan dan hadit yang menafikan dilalah
Al Qur‘an yang bersifat pasti (qath’i),
sunnah yang mutawir, atau ijma’ ulama yang qath’I lainnya.
6. Hadits itu berupa berita penting yang didukung oleh
banyak factor untuk diriwayatkan oleh banyak perawi, namun hanya satu orang
dari mereka yang meriwayatkannya.
7.
Hadits tersebut berkenaan dengan hal yang seharusnya
diketahui oleh para mukallaf serta
tidakn ada halangan untuk mengetahuinya, namun hanya satu orang yang
meriwatkannya.
8.
Lafazh hadits yang diriwayatkan kasar, meskipun
dikatakan oleh perawinya sendiri bahwa hadits itu merupakan lafazh Nabi SAW.
9. Makna hadit rusak, seperti hadits-hadits yang
janggal. Contohnya, “Terong tidak untuk
dimakan” dan “Terong adalah penyembuh bagi setiap penyakit”.
Di antaranya juga
adalah hadits yang kasar lafazhnya dan menjadin objek cacian, misalnya hadits,
“kalau kiranya nasi itu laki-laki pastilah ia lembut, tidaklah orang lapar
memakannya terkecuali ia akan membuatnya kenyang.”
10. Hadits yang
diriwayatkan disuatu masa di mana Hadits-hadits telah diteliti, ditulis dan
dianalisa, sehingga hadits dimaksud sudah tidak ada lagi dalam hafalan para
perawi dan tidak juga di dalam buku-buku hadits.
11. Setiap hadits
yang mendoakan persekongkolan para sahabat untuk merahasiakan suatu perkara dan untuk tidak
meriwayatkannya, seperti yang didakwakan kelompok Syi’ah.
12. Kesesuaian hadits
dengan madhzab perawinya. Misalnya, perawi yang dari golongan Rafidhah dan
hadits mengenai keutamaan ahlul Bait atau celaan terhadap orang yang memerangi
mereka.
13. Haditts tersebut
serampangan dan berlebih-lebihan dalam menjanjikan pahala besar sebagai balasan
bagi amal ibadah yang ringan dan hal ini banyak terdapat dalam hadits qashshash (ahli kisah).
14. dalam hadits
terdapat hal semisal, “Diberi sepadan dengan pahala seorang
nabi,
atau para nabi”, atau yang seperti itu.
Demikianlah para ulama Islam melakukan perlawanan
terhadap pemalsuan di dalam hadits dan mengungkap aib para pemalsu dari para
pembuat bid’ah atau orang-orang kafir yang hendak memperdaya Islam dan kaum
muslimin, serta menjamah kehormatan Nabi SAW.
Abu Fadhl Al Hamdani menjelaskan bahaya atau ancaman ahli
bid’ah atas Islam sebagai berikut.
“Kelompok bid’ah dan para pendusta hadits lebih berbahaya
dari pada orang-orang kufur, karena orang-orang kufur bermaksud merusak agama
dari luar sedangkan mereka merusaknya dari dalam.
Mereka seperti penduduk negeri yang berusaha merusak
tatanannya, sedangkan orang-orang kafir melakukannya dari luar. Mereka yang ada
di dalam membukakan pintu benteng untuk mereka. Hal tersebut merupakan
kejahatan terhadap Islam.
D. Karangan-karangan tentang Hadits-hadits maudhu’
Hadits maudhu’ adalah hadits yang direka-reka
dan dibuat-buat. Maudhu’ adalah jenis
hadits dha’if yang paling berbahaya
dan paling buruk. Haram meriwayatkannya ketika pemalsuannya sudah jelas-jelas
diketahui. Kepalsuan di sini dalam makna apa pun bentuknya, baik berkenaan dengan
hukum-hukum, kisah-kisah, targhib dan
yang lainnya, kecuali disertai dengan penjelasan kepalsuannya.
Dasarnya adalah hadits Imam Muslim,
Yang artinya:
“Barangsiapa yang meriwayatkan dariku hadits yang ia
ketahui bahwa hadits itu bohong, maka ia termasuk salah seorang pembohong.”
Mereka sepakat
bahwa kesengajaan mendustakan Nabi SAW merupakan salah satu dari dosa besar.
Abu Muhammad Al Jauzani meyatakan lebih jauh, bahkan ia mengkafirkan orang yang
sengaja mendustakan Nabi SAW.
Dalam hadits mutawatir
yang diriwayatkan dari para sahabat, bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya:
“Barangsiapa yang mendustakanku dengan kesengajaan,
maka nerakalah tempatnya.”
Oleh karena itu,
peringatan kepada manusia atas hadits maudhu’
merupakan perbuatan yang paling mulia dan utama, agar mereka menjauhi perbuatan
buruk dengan mendustakan Nabi SAW.
Untuk alasan ini, para kritikus hadits dan ulama jarh wa ta’dil menantang untuk membeda
perut para pendusta dan pembuat hadits. Mereka menyusun buku-buku besar untuk
menjelaskan hal ihwal mereka dan menyatakan aib-aib mereka agar orang-orang
yang buta terhadap perihal hadits tidak terpedaya oleh riwayat-riwayat mereka.
Di pihak lain, para hufazh
yang jenius menuliskan karya-karyanya sendiri dalam upaya menjelaskan
hadits-hadits maudhu’. Mereka
menentukan hadits-hadits maudhu dengan
definisi yang cukup dan berimbang. Tujuannya adalah agar kaum muslimin
terhindar dari pengalaman hadits maudhu’
dalam segala urusan kehidupan. Mereka juga menyusun buku-buku ten tang
hadits-hadits shahih saja tampa mencantumkan
hadits-hadits maudhu’ yang bias
memperburuk keindahan Islam, menyebabkan umat menjadi terbelakang, semakin
menguatkan khurafat dan wahm, dan memecah belah.
Di antara karya-karya yang memfokuskan pengkajiannya
terhadap hadits-hadits maudhu’ adalah:
1.
Tadzkirah Al
Maudhu’at, abu Al fadhl bin Thahir Al muqaddasi, 507 H.
2.
Al Abathil, Husein bin
ibrahim Al Jauzaqi, 543 H.
3.
Al maudhu’at, Abu Al Farj bin
al Jauzi, 597 H.
- Al Mughni ‘an Al Hifzh wa al kitab bi Qaulihim lam Yashih Syai’un fi Hadzal Bab, Abu Hafsh Umar bin Babr Al Maushili, 623 H.
- Al Aqidah Ash-Shahihah fil Maudhu’at Ash-Sharihah, Abu Hafsh Umar bin Badr Al Maushili.
- Al Maudhu’at, Abu Al Fadha ‘il Al Hasan bin Muhammad Ash-Shanghani, 650 H.
- Ad-Durr Al Multaqath fi Tabyin Al Ghalath, Abu Al Fadha ‘il al Hasan bin Muhammad Ash-Shanghani.
- Ad-Dirar Al Mashnu’at fil Ahadits Al Maudhu’at, Muhammad bin Ahmad As-Safaryani, 656 H.
- Talkhish Maudhu’at Al Jauzaqani, Syamsuddin adz-Dzahabi, 748 H.
- Al Manar Al Munif fi Ash-Shahih wa Adh-Dha’if, Ibnu Qayyim, 751 H.
- safar As-Sa’adah, Al Fairuz abadi, 826 H.
- Al ‘Aali Al Mashnu’ah fil Ahadits Al Mashnu’ah, Jalaluddin As-Suyuthi, 911 H.
- Dzail al ‘Aali, Jalaluddin as-Suyuthi.
- An-Nukat Al Badi’iyat ‘alal Maudhu’at, Jalaluddin As-Suyuthi.
- At-Ta’aqqubat, Jalaluddin As-Suyuthi. (di dalamnya terdapat ringkasang dari buku An-Nukat Al Badi’iyat ‘alal Maudhu’at).
- Al Fawa’id Al majmu’ah fil Ahadits Al Maudhu’at, Muhammad bin Yusuf Ad-Dimsyaqi Ash-Shalihi, 942 H.
- Tanzih Asy-Syari’ah Al marfu’ah ‘an Al Khabar Asy-Syani’ah Al Maudhu’ah, Abu Al Hasan bin ‘Araq Al Kanani, 963 H.
- Tadzkirah Al Maudhu’at, Muhammad bin Thahir Al Fatani Al Hindi, 986 H.
- Al Fawa’id Al Maudhu’at, Mar’a bin Yusuf Al Karami, 1023 H.
- Al Asrar Al Marfu’ah, Ali Al Qari,1014 H.
- Al Mashnu’ fi Ma’rifah Al Hadits Al Maudhu’, Ali Al Qari.
- Al Kasyf Al Ilahi ‘an Syadid Adh-Dha’if wa Al Maudhu’ wa Al Wahi, Muhammad bin Muhammad Al Husaeini As-Sandarusi, 1177 H.
- al Fawa ‘id al Majmu’ah fil Ahadits Al Maudhu’ah, Muhammad bin Ali asy-Syaukani 1250 H.
- Al Atsar al Marfu’ah Fil Akhbar Al Maudhu’ah, Abu Al Hasanat Muhammad Abdul Hay Al Laknawi, 1304 H.
- Al Lu ‘Lu ‘Al Marshu’ fima Qiil: La Ashla Lahu Au bi Ashlihi Maudhu’, Abu Al Mahasin Muhammad bin Khalil Al Qawaqji, 1305 H.
- Tahdzir Al Muslimin minal Ahadits al Maudhu’ah ‘ala Sayid Al Mursalin, Muhammad bin Basyir Zhafir Al Maliki, 1325 H.
- Silsilah Al Ahadits Adh-Dha ‘ifah wal maudhu’ah, Muhammad NashiruddinAl Albani.
Ini adalah
Beberapa buku Di antara sekalian banyak buku yang ada. Semua itu berkat usaha
keras para ulama yang telah berabat-abat membela dan mempertahankan
Hadits-hadits nabi yang Shahih.
Mereka memisahkan yang baik dari yang
buruk, tidak mencampurkan yang buruk dengan yang indah. Semua itu dilakukan
agar tidak tersisa lagi argumentasi bagi orang-orang yang bergantung pada
hadits-hadits maudhu’ yang kerjaannya
hanya menebar khurafat dan wahm, serta mencoreng keindahan Islam.
Demikianlah Allah
telah mengembalikan tipu daya para pemalsu hadits dan pendusta dengan
hadits-hadits ulama pilihan yang membukakan aib dan kejelekan mereka, hingga
tidak seorang pun berdusta terkecuali pebuatannya terungkap. Cukuplah seorang
pendusta bahwa kalbu enggan menerimah perkataannya, karena sesungguhnya
kebatilan bagaikan cahaya yang bersinar. Inilah yang menjadi ketetapan saat ini
di dunia. Adapun kelak di akhirat, kerugian yang mereka dapatkan benar-benar
nyata.
Sufyan berkata,
“Tidaklah Allah ‘Azza wa Jalla
menutup aib seseorang yang berdusta di dalam hadits.”
Ibnu Al Mubarak
berkata, “Kalau kiranya seorang laki-laki pada waktu sahur ingin berdusta di
dalam hadits, pastilah di pagi harinya oaring-orang berkata bahwa si fulan
adalah seorang pembohong.”
BAB. III
PENUTUP
A. Simpulan:
- Ahli Bi’ah adalah orang yang menambah-nambah aturan ibadah, yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
- Budak hawa nafsu adalah orang yang selalu memperuntukkan hawa nafsunya, tidak mau melaksanakan perintah agama karena didalam dirinya yang berkuasa adalah hawa nafsunya semata.
- Kelompok bid’ah dan para pendusta hadits lebih berbahaya dari pada orang-orang kufur, karena orang-orang kufur bermaksud merusak agama dari luar sedangkan mereka merusaknya dari dalam.
- Musuh-musuh Islam sengaja memalsukan hadits karena orienntasi duniawi dank arena kebencian mereka terhadap Islam, serta ambisi-ambisi pribadi yang hanya dapat terpuaskan dengan melakukan tipu daya terhadap Islam dan kaum muslimin. Juga karena ketamakan mereka untuk meraup keuntungan, kecintaan mereka pada kedudukan dan usaha mereka di balik popularitas yang semu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar