Minggu, 11 Agustus 2013

Makalah Pemalsuan Hadits



 MAKALAH
 PEMALSUAN HADITS

OLEH
RUSDIANTO KARIM

MTS. NEGERI BALANG-BALANG
2009


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

          Dalam rangka meningkatkan pembelajaran khususnya siswa (i) diharuskan untuk membaca, menulis, dan memperhatikan situasi di sekitar kita. Dalam  hal ini selain dalam pelajaran sekolah siswa juga diharuskan memahami tentang agama contohnya yang berkaitan dengan hadist dan yang berkaitan dengan Al-Qur’an, banyak kejadian yang telah terjadi disekitar kita seperti pemalsuan hadits. Akibat dari kejadian ini banyak kaum yang merasa dirugikan.       


B. RUMUSAN MASALAH

          Pada zaman sekarang ini banyak orang orang yang yang menjadi musuh Islam, contonya memalsukan hadist. Salah satu kaum yang termasuk musuh Islam yaitu Ahli Bid’ah dan Budak Hawa Nafsu, maka dalam karya tulis ini kami mempunyai rumusan masalah,  “Bagaimana Sikap Ahli Bid’ah dan Budak Hawa Nafsu Terhadap Sunnah Para Pemalsu Hadist?”, dan dalam karya tulis kami ini akn memecahkan masalah ini dengan buku-buku yang telah kami kumpulkan.  

C. TUJUAN PENULISAN
         
Ø  Supaya orang dapat memahami hal yang dimaksud dengan ahli bid’ah dan budak hawa nafsu.

Ø  Supaya manusia tidak melakukan lagi perbuatan bid’ah.


BAB. II

PEMBAHASAN
 
A. Pemalsuan Hadits
     
          Budak-budak hawa nafsu, pembuat bid’ah dan sindiq musuh-musuh Islam putus asa dalam melakukan muslihat dan menyimpangkan kitab Allah SWT. menurut kemauan nafsu mereka, karena Allah SWT telah berfirman,
                                                                                                                         
“Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan al Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.(Q.S. Al Hijr(15):9).
  
          Mereka sengaja memalsukan Hadits karena alasan-alasan murahan dan oreantasi duniawi, serta ambisi-ambisi pribadi yang dapat terpuaskan dengan melakukan tipu daya terhadap Islam dan kaum muslimin. Juga, karena ketamakan mereka untuk meraup keuntungan, kecintaan mereka pada kedudukan dan usaha mereka di belakang popularitas semu.

B. Sebab-Sebab Pemalsuan Hadits

            Terdapat banyak sebab-sebab pemalsuan hadits, sebanyak jumlah pemalsu dan kepentingan mereka. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok:

1.      Kelompok Zindiq. Yang mendorong mereka untuk melakukan pemalsuan adalah sikap meremerkan agama dan penipuan kepada kaum muslimin.
2.      Budak hawa nafsu dan ahli bid’ah. Mereka memalsukan hadits dengan tujuan untuk mengagungkan mahzab-mahzab mereka dan menjatuhkan lawan mereka.
3.    Kaum yang menjadikan pemalsuan sebagai barang buatan dan pasaran, karena sikap mereka yang kurang ajar terhadap Allah dan rasul-Nya.
4.    kaum yang menisbatkan diri kepada ajaran zuhud. Kesadaran keagamaan yang bersumber dari kebodohan mendorong mereka untuk memalsukan Hadits-hadits targhib (ajaran) dan tarhib (ancaman). Menurut mereka, hadits ini menganjurkan manusia untuk berbuat kebaikan dan mencega mereka dari kejahatan. Sebagian pencari karamah dan sufi membolehkan pemalsuan hadits.
5.      Para petualang duniawi, seperti para ahli kisah, peminta-minta dan para umara’ (pejabat).
6.  Kelompok yang terdorong oleh ketamakan dan kecintaan pada penampilan luar untuk melakukan pemalsuan hadits, mereka menjadikan hadits yang
Sanadnya lemah menjadi hadits yang sanadnya shahih dan masyur. Sebagian  mereka memberikan isnad yang bukan isnad-Nya pada suatu haditssehingga yang masyur menjadi gharib.
7.      Kelompok yang tahu bahwa dalam riwayat mereka terdapat hadits yang palsu tapi mereka tidak mengatakannya. Seperti orang yang memang kurang ajar yang dengan sengaja menambahkan perkataan sebagian sahabat atau lainnya kepada ucapan Nabi SAW. Juga, seperti orang yang sedang diuji dengan orang yang menyusupkan hal-hal lain ke dalam hadits.  

C. Indikasi-indikasi pemalsuan

Allah ‘Assa Wa Jalla mempersiapkan ulama-ulama yang mumpuni untuk   membedakan antara hadits-hadits yang shahih, dha’ih dan maudhu’. Mereka mengabdikan diri untuk membela Sunnah Rasul, dan terus bekerja siang dan malam untuk mencari hadits. Mereka mengarungi padang pasir yang tandus dan melupakan kebutuhan duniawinya hanya untuk menyimaknya, dan meletakkan kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits yang shahih dari yang dha’if atau maudhu’.
Demikianlah, karena banyaknya bersentuhan dengan hadits-hadits Nabi SAW, maka tercipta dalam diri meeka kondisi kejiwaan dan naluri yang kuat yang dengannya mereka bias mengetahui apa yang mungkin termasuk lafazh-lafazh Nabi dan apa yang tidak mungkin.
Rabi’ bin Khutsaim seorang ulama Tabi’in yang terhormat , salah satu dari sahabat-sahabat ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya di antara hadits-hadits yang ada terdapat Hadits yang memiliki cahaya seperti cahaya di siang hari sehingga dengan cahaya itu kita mengetahui bahwa itu adalah hadits. Di antaranya pula ada hadits yang memiliki kegelapan seperti gelapnya malam yang dengan kegelapan itu pula kita mengetahui apakah itu Hadits atau bukan.
Ibnu Al Jauzi berkata, “Kami meriwayatkannya dari Ibnu Al Mubarak, bahwasanya dikatakan  kepadanya, ‘Hdits-hadits inin bikinan.’ Lalu ia berkata, ‘para kritikus Hadits hidup untuknya.’’’
Tidak disangsikan bahwa para kritikus itu telah mendefinisikan tanda-tanda untuk membedakan hadits maudhu’ dari yang shahih setelah menekuni lafazh-lafazh nabi, baik sanadnya ataupun matannya. Di antara tanda-tanda itu adalah:
  
1.      Pengakuan pemalsu hadits sendiri atas pemalsuan yang dilakukannya.
2. Adanya bukti yang bias dijadikan tempat bersembunyi dari pengakuannya terhadap pemalsuan yang dilakukannya. Misalnya, fakta-fakta sejarah yang tidak membenarkannya.
3.   Perawinnya didustakan pada yang banyak ulama, karena bagaimanapun       tidak akan pernah terjadi di kalangan ulama kesepakatan untuk berbohong atau sebagian mereka bertaklid kepada sebagian lainnya.
4.      Bukti yang tedapat pada perawi yang mengindikasikan pemalsuannya pada  hadits.
5.      Bukti yang terdapat pada hadits yang diriwayatkan. Misalnya, karena bertentangan dengan logika sehingga hadits itu tidak dapat ditakwilkan dan hadit yang menafikan dilalah Al Qur‘an yang bersifat pasti (qath’i), sunnah yang mutawir, atau ijma’ ulama yang qath’I lainnya.
6.     Hadits itu berupa berita penting yang didukung oleh banyak factor untuk diriwayatkan oleh banyak perawi, namun hanya satu orang dari mereka yang meriwayatkannya.
7.      Hadits tersebut berkenaan dengan hal yang seharusnya diketahui oleh para mukallaf serta tidakn ada halangan untuk mengetahuinya, namun hanya satu orang yang meriwatkannya.
8.      Lafazh hadits yang diriwayatkan kasar, meskipun dikatakan oleh perawinya sendiri bahwa hadits itu merupakan lafazh Nabi SAW.
9.   Makna hadit rusak, seperti hadits-hadits yang janggal. Contohnya, “Terong  tidak untuk dimakan” dan “Terong adalah penyembuh bagi setiap penyakit”.
Di antaranya juga adalah hadits yang kasar lafazhnya dan menjadin objek cacian, misalnya hadits, “kalau kiranya nasi itu laki-laki pastilah ia lembut, tidaklah orang lapar memakannya terkecuali ia akan membuatnya kenyang.”
10. Hadits yang diriwayatkan disuatu masa di mana Hadits-hadits telah diteliti, ditulis dan dianalisa, sehingga hadits dimaksud sudah tidak ada lagi dalam hafalan para perawi dan tidak juga di dalam buku-buku hadits.
11. Setiap hadits yang mendoakan persekongkolan para sahabat untuk  merahasiakan suatu perkara dan untuk tidak meriwayatkannya, seperti yang didakwakan kelompok Syi’ah.
12. Kesesuaian hadits dengan madhzab perawinya. Misalnya, perawi yang dari golongan Rafidhah dan hadits mengenai keutamaan ahlul Bait atau celaan terhadap orang yang memerangi mereka.
13. Haditts tersebut serampangan dan berlebih-lebihan dalam menjanjikan pahala besar sebagai balasan bagi amal ibadah yang ringan dan hal ini banyak terdapat dalam hadits qashshash (ahli kisah).
14. dalam hadits terdapat hal semisal, “Diberi sepadan dengan pahala seorang   

nabi, atau para nabi”, atau yang seperti itu.
            Demikianlah para ulama Islam melakukan perlawanan terhadap pemalsuan di dalam hadits dan mengungkap aib para pemalsu dari para pembuat bid’ah atau orang-orang kafir yang hendak memperdaya Islam dan kaum muslimin, serta menjamah kehormatan Nabi SAW.
            Abu Fadhl Al Hamdani menjelaskan bahaya atau ancaman ahli bid’ah atas Islam sebagai berikut.
            “Kelompok bid’ah dan para pendusta hadits lebih berbahaya dari pada orang-orang kufur, karena orang-orang kufur bermaksud merusak agama dari luar sedangkan mereka merusaknya dari dalam.
         Mereka seperti penduduk negeri yang berusaha merusak tatanannya, sedangkan orang-orang kafir melakukannya dari luar. Mereka yang ada di dalam membukakan pintu benteng untuk mereka. Hal tersebut merupakan kejahatan terhadap Islam.


D. Karangan-karangan tentang Hadits-hadits maudhu’
           
            Hadits maudhu’ adalah hadits yang direka-reka dan dibuat-buat. Maudhu’ adalah jenis hadits dha’if yang paling berbahaya dan paling buruk. Haram meriwayatkannya ketika pemalsuannya sudah jelas-jelas diketahui. Kepalsuan di sini dalam makna apa pun bentuknya, baik berkenaan dengan hukum-hukum, kisah-kisah, targhib dan yang lainnya, kecuali disertai dengan penjelasan kepalsuannya. 
            Dasarnya adalah hadits Imam Muslim,      
            Yang artinya:


“Barangsiapa yang meriwayatkan dariku hadits yang ia ketahui bahwa hadits itu bohong, maka ia termasuk salah seorang pembohong.”

            Mereka sepakat bahwa kesengajaan mendustakan Nabi SAW merupakan salah satu dari dosa besar. Abu Muhammad Al Jauzani meyatakan lebih jauh, bahkan ia mengkafirkan orang yang sengaja mendustakan Nabi SAW.
            Dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan dari para sahabat, bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya:
  
“Barangsiapa yang mendustakanku dengan kesengajaan, maka nerakalah tempatnya.”

            Oleh karena itu, peringatan kepada manusia atas hadits maudhu’ merupakan perbuatan yang paling mulia dan utama, agar mereka menjauhi perbuatan buruk dengan mendustakan Nabi SAW.
            Untuk alasan ini, para kritikus hadits dan ulama jarh wa ta’dil menantang untuk membeda perut para pendusta dan pembuat hadits. Mereka menyusun buku-buku besar untuk menjelaskan hal ihwal mereka dan menyatakan aib-aib mereka agar orang-orang yang buta terhadap perihal hadits tidak terpedaya oleh riwayat-riwayat mereka.
            Di pihak lain, para hufazh yang jenius menuliskan karya-karyanya sendiri dalam upaya menjelaskan hadits-hadits maudhu’. Mereka menentukan hadits-hadits maudhu dengan definisi yang cukup dan berimbang. Tujuannya adalah agar kaum muslimin terhindar dari pengalaman hadits maudhu’ dalam segala urusan kehidupan. Mereka juga menyusun buku-buku ten tang hadits-hadits shahih saja tampa mencantumkan hadits-hadits maudhu’ yang bias memperburuk keindahan Islam, menyebabkan umat menjadi terbelakang, semakin menguatkan khurafat dan wahm, dan memecah belah.
            Di antara karya-karya yang memfokuskan pengkajiannya terhadap hadits-hadits maudhu’ adalah:      

1.      Tadzkirah Al Maudhu’at, abu Al fadhl bin Thahir Al muqaddasi, 507 H.
2.      Al Abathil, Husein bin ibrahim Al Jauzaqi, 543 H.
3.      Al maudhu’at, Abu Al Farj bin al Jauzi, 597 H.
  1. Al Mughni ‘an Al Hifzh wa al kitab bi Qaulihim lam Yashih Syai’un fi Hadzal Bab, Abu Hafsh Umar bin Babr Al Maushili, 623 H.
  2. Al Aqidah Ash-Shahihah fil Maudhu’at Ash-Sharihah, Abu Hafsh Umar bin Badr Al Maushili.
  3. Al Maudhu’at, Abu Al Fadha ‘il Al Hasan bin Muhammad Ash-Shanghani, 650 H.
  4. Ad-Durr Al Multaqath fi Tabyin Al Ghalath, Abu Al Fadha ‘il al Hasan bin Muhammad Ash-Shanghani.
  5. Ad-Dirar Al Mashnu’at fil  Ahadits Al Maudhu’at, Muhammad bin Ahmad As-Safaryani, 656 H.
  6. Talkhish Maudhu’at Al Jauzaqani, Syamsuddin adz-Dzahabi, 748 H.
  7. Al Manar Al Munif fi Ash-Shahih wa Adh-Dha’if, Ibnu Qayyim, 751 H.
  8. safar As-Sa’adah, Al Fairuz abadi, 826 H.
  9. Al ‘Aali Al Mashnu’ah fil Ahadits Al Mashnu’ah, Jalaluddin As-Suyuthi, 911 H.
  10. Dzail al ‘Aali, Jalaluddin as-Suyuthi.
  11. An-Nukat Al Badi’iyat ‘alal Maudhu’at, Jalaluddin As-Suyuthi.
  12. At-Ta’aqqubat, Jalaluddin As-Suyuthi. (di dalamnya terdapat ringkasang dari buku An-Nukat Al Badi’iyat ‘alal Maudhu’at).
  1. Al Fawa’id Al majmu’ah fil Ahadits Al Maudhu’at, Muhammad bin Yusuf Ad-Dimsyaqi Ash-Shalihi, 942 H.
  2. Tanzih Asy-Syari’ah Al marfu’ah ‘an Al Khabar Asy-Syani’ah Al Maudhu’ah, Abu Al Hasan bin ‘Araq Al Kanani, 963 H.
  3.  Tadzkirah Al Maudhu’at, Muhammad bin Thahir Al Fatani Al Hindi, 986 H.
  4. Al Fawa’id Al Maudhu’at, Mar’a bin Yusuf Al Karami, 1023 H.
  5. Al Asrar Al Marfu’ah, Ali Al Qari,1014 H.
  6. Al Mashnu’ fi Ma’rifah Al Hadits Al Maudhu’, Ali Al Qari.
  7. Al Kasyf Al Ilahi ‘an Syadid Adh-Dha’if wa Al Maudhu’ wa Al Wahi, Muhammad bin Muhammad Al Husaeini As-Sandarusi, 1177 H.
  8. al Fawa ‘id al Majmu’ah fil Ahadits Al Maudhu’ah, Muhammad bin Ali asy-Syaukani 1250 H.
  9. Al Atsar al Marfu’ah Fil Akhbar Al Maudhu’ah, Abu Al Hasanat Muhammad Abdul Hay Al Laknawi, 1304 H.
  10. Al Lu ‘Lu ‘Al Marshu’ fima Qiil: La Ashla Lahu Au bi Ashlihi Maudhu’, Abu Al Mahasin Muhammad bin Khalil Al Qawaqji, 1305 H.
  11. Tahdzir Al Muslimin minal Ahadits al Maudhu’ah ‘ala Sayid Al Mursalin, Muhammad bin Basyir Zhafir Al Maliki, 1325 H.
  12. Silsilah Al Ahadits Adh-Dha ‘ifah wal maudhu’ah, Muhammad NashiruddinAl Albani.  

Ini adalah Beberapa buku Di antara sekalian banyak buku yang ada. Semua itu berkat usaha keras para ulama yang telah berabat-abat membela dan mempertahankan Hadits-hadits nabi yang Shahih. Mereka memisahkan  yang baik dari yang buruk, tidak mencampurkan yang buruk dengan yang indah. Semua itu dilakukan agar tidak tersisa lagi argumentasi bagi orang-orang yang bergantung pada hadits-hadits maudhu’ yang kerjaannya hanya menebar khurafat dan wahm, serta mencoreng keindahan Islam.
Demikianlah Allah telah mengembalikan tipu daya para pemalsu hadits dan pendusta dengan hadits-hadits ulama pilihan yang membukakan aib dan kejelekan mereka, hingga tidak seorang pun berdusta terkecuali pebuatannya terungkap. Cukuplah seorang pendusta bahwa kalbu enggan menerimah perkataannya, karena sesungguhnya kebatilan bagaikan cahaya yang bersinar. Inilah yang menjadi ketetapan saat ini di dunia. Adapun kelak di akhirat, kerugian yang mereka dapatkan benar-benar nyata.
Sufyan berkata, “Tidaklah Allah ‘Azza wa Jalla menutup aib seseorang yang berdusta di dalam hadits.”
Ibnu Al Mubarak berkata, “Kalau kiranya seorang laki-laki pada waktu sahur ingin berdusta di dalam hadits, pastilah di pagi harinya oaring-orang berkata bahwa si fulan adalah seorang pembohong.”

BAB. III

PENUTUP

A.   Simpulan:

  1.   Ahli Bi’ah adalah orang yang menambah-nambah aturan   ibadah, yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
  2.  Budak hawa nafsu adalah orang yang selalu memperuntukkan hawa nafsunya, tidak mau melaksanakan perintah agama karena didalam dirinya yang berkuasa adalah hawa nafsunya semata. 
  3.  Kelompok bid’ah dan para pendusta hadits lebih berbahaya dari pada orang-orang kufur, karena orang-orang kufur bermaksud merusak agama dari luar sedangkan mereka merusaknya dari dalam. 
  4.  Musuh-musuh Islam sengaja memalsukan hadits karena orienntasi duniawi dank arena kebencian mereka terhadap Islam, serta ambisi-ambisi pribadi yang hanya dapat terpuaskan dengan melakukan tipu daya terhadap Islam dan kaum muslimin. Juga karena ketamakan mereka untuk meraup keuntungan, kecintaan mereka pada kedudukan dan usaha mereka di balik popularitas yang semu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar